Anak Anjing Paulino

Author: NodiX
Tanggal Rilis: 4 April, 2012
Link Lain: IDWS
Bayangkan kau hidup di sebuah kota rapuh yang penduduknya terbelah menjadi dua belah pihak yang saling bermusuhan; sebuah hembusan angin sepoi yang tak bersahaja bisa saja meruntuhkan menara perdamaian dengan mudahnya. Bayangkan seorang yang kau sayangi berusaha untuk menciptakan sebuah piramida keamanan, ketentaraman, dan kedamaian dari butir-butiran pasir nan liar; terlalu lemah mewujudkan gagasannya. Bayangkan impian orang yang kau sayangi itu melekat jelas di benakmu; kau rela berdiri gagah di depannya untuk menuntunnya mencapai apa yang ia impikan.

Kini, coba bayangkan dirimu tak lebih dari seekor anak anjing, yang tinggal di sebuah kota antah berantah, dimana para manusia terlampau kikir untuk berbagi kehidupan dengan makhluk lain; sayangnya kawan, kaulah makhluk lain itu.

Maka kau akan memahami bagaimana perasaan Krovenoe. Bersama ketiga kakaknya ia berusaha menjadi malaikat pelindung dari seorang imigran di Wardten City, Paulino Punzio.

Cerita berawal ketika Paulino menemukan empat bayi anjing dan memilih untuk menampung mereka sebelum orang lain yang memilih untuk membunuh mereka. Benar, kawan. Di kota ini makanan tak terlalu melimpah untuk dimasukkan ke dalam semua perut. Dan bagi mereka yang hidupnya tak terlalu berharga, lebih baik bersiap untuk berpulang ke sisinya. Sebab rasa ego manusia terhadap hidup makhluk lain di Wardten City, sungguh terlalu.

Dan beberapa waktu kemudian...

***

Tubuh mungil Krovenoe langsung bergetar mengusir peluh-peluh air yang menggerogotinya tepat setelah ia muncul dari sebuah celah di dinding. Menyadari kemunculan adik bungsunya, Bimchi langsung menyambutnya dengan perasaan cemas. Anak anjing betina itu sangat menghawatirkan kondisi Krovenoe yang terlalu lama mengintai, apalagi di tengah hujan begini. Tak mungkin Krovenoe terus berada di luar, kecuali ada sesuatu yang menarik minatnya sewaktu ia mengintai majikannya. Namun Krovenoe tahu batasannya, jika hujan turun, ia harus segera berada di rumah. Kecuali ia terpaksa untuk melanjutkan pengintaiannya karena beberapa hal penting yang sangat mendesak.

"Di luar hujan," sambut Bimchi, tak ingin berbasa-basi. "Mengapa kau tidak langsung pulang saja?" cemasnya.

Krovenoe tertegun sesaat. Kemudian ia menggeleng sambil berjalan pelan ke arah mangkuk yang berisi air susu. "Bicara nanti, panggil Blech dan Zech dulu," ujarnya setelah ia selesai menjilati susu di mangkuk.

Bimchi tak mengangguk, namun ia menuruti perkataan Krovenoe.

Beberapa menit kemudian Zech dan Blech sudah berada di ruangan itu. Bimchi hanya berdiri di sudut ruangan, sebab jika menyangkut tentang tugas yang sedemikian penting ini, ia tak memiliki hak sama sekali untuk angkat bicara. Bimchi bukanlah pejuang seperti ketiga saudaranya, jenis kelamin merupakan benturan baginya.

"Apa yang menghambatmu di luar?" tanya Zech.

Krovenoe melirik Bimchi sebelum ia menjawab, "aku melihat Tuan Paulino pergi bersama orang asing."

Mendengar jawaban Krovenoe Blech hanya mengangguk misterius. Tak ada dari ketiga adiknya yang mengetahui pikirannya saat itu.

"Bukankah itu bagus?" ujar Zech, mendekati Bimchi yang sama riangnya dengan dirinya. "Kini kerja keras Tuan Paulino membuahkan hasil."

Krovenoe tersenyum. Hanya sesaat, sebab senyuman itu pudar ketika ia melihat gelengan Blech yang sudah jelas menandakan bahwa ia tak setuju.

"Terlalu mencurigakan," sahut Blech. "Terlalu mencurigakan untuk pergi di tengah-tengah hujan begini. Terlalu lebat untuk berpergian, seharusnya mereka menunggu hingga hujan reda, kecuali jika salah satu dari mereka tak ingin diikuti."

Krovenoe bingung. Kebingungannya bertambah ketika ia mendapati wajah Zech yang berubah pucat. Sepertinya Zech mengerti apa yang dimaksud oleh Blech.

Blech memandang Krovenoe. Sorotan matanya jelas dan tajam. "Kau kehilangan jejak mereka, iyakan?" ujarnya dengan nada mendakwa.

Krovenoe mengangguk pelan. Ia takut untuk menjawab, namun ia tahu ia harus melakukannya. "Hujannya sangat deras. Kabutnya terlalu tebal dan aku kehilangan bau mereka."

Mendengar jawaban Krovenoe, Zech langsung mendesis geram. Sudah ia duga adik bungsunya tak akan bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan dengan becus.

Mendapati situasi yang sangat berbahaya bagi Tuannya, Blech berusaha untuk tetap tenang. "Dengar, Krovenoe. Jawab pertanyaanku. Apa kau mengikuti mereka cukup lama?"

"Separuh perjalanan," jawab Krovenoe mantap. Jika separuh perjalanan yang ia maksud, maka bisa dipastikan ia sudah mengintai cukup lama.

Blech mengangguk paham. "Apa kau merasa mereka memiliki tujuan yang jelas?"

Krovenoe berpikir sesaat. "Kurasa tidak. Sebab sebelum aku kehilangan jejak mereka aku sempat mengenali sebuah tempat yang mereka lalui. Bisa kupastikan mereka berputar-putar tanpa ada tujuan yang jelas."

Blech mengangguk kembali. Kini makin misterius anggukannya. "Kurasa sudah jelas bukan? Kita masih memiliki waktu. Sepertinya orang asing itu bukanlah seseorang yang Zech sebut-sebut mengincar nyawa Tuan Paulino."

Bimchi dan Krovenoe tersentak ketika mendengar ucapan Blech. Ada seseorang yang mengincar nyawa Tuan Paulino? Mengapa Blech dan Zech tak memberitahukan kedua adik mereka? Sesaat kemudian Krovenoe mulai paham, bukan hanya Tuan Paulino saja yang Blech khawatirkan, namun juga kedua adiknya yang akan terguncang ketika mendengar fakta itu.

Krovenoe berusaha tenang walau rasa cemas mengguncang tubuhnya terus menerus. Otaknya kian galau memikirkan keselamatan Tuannya.

"Kau tak apa, Krove?" tanya Blech yang menyadari guncangan batin yang dialami Krovenoe.

Krovenoe tertegun. Ia melirik wajah pucat Bimchi yang tengah ditenangkan oleh Zech. "Aku? Aku tak apa-apa."

Untuk sesaat Blech tak bergeming. Meneliti wajah pucat Krovenoe dibalik bulunya yang hitam mengkilap karena basah. "Baguslah. Kau mengerti aku tak bisa menugaskanmu untuk misi di luar, bukan?"

Krovenoe mengangguk. Ia telah mengecewakan kedua kakaknya dan tanggung jawab mengawasi Tuannya telah dicabut oleh kakak tertuanya.

"Namun aku masih mengharapkan informasi darimu malam ini," tambah Blech. "Jangan kecewakan aku kali ini, Krove. Ini penting sekali."

Krovenoe mengangguk. Ia berjalan ke arah bantalan tidurnya ketika Blech mempersilahkannya untuk tidur dan mengistirahatkan tubuh lelahnya.

***

Sebuah guncangan lembut membangungkan Krovenoe dari tidurnya. Ia terbangun walau malas membuka matanya. Saat itu juga suara anak anjing betina lembut langsung menyambutnya dari tidur.

"Bangunlah, Krove!."

Krovenoe mengintip lewat kelopak matanya yang mulai terbuka sedikit. Gelap sekali malam itu. Cahaya rembulan merembes dari ventilasi udara, namun itu tak cukup untuk mengusir kegelapan ini.

"Ayolah, Krovenoe. Tuan Paulino sudah datang!"

Krovenoe membuka lebar matanya. Ia langsung menoleh ke asal suara.

"Tuan sudah datang?"

Bimchi mengangguk. "Sebentar lagi ia tiba."

Krovenoe langsung membangkitkan tubuhnya. Perasaan cemas mengguyur seluruh tubuhnya ketika ia meluruskan tulang-tulangnya. Tanpa basa-basi lagi ia berlarian menuju pintu rumah, menunggu di situ, dan sebuah sosok pria jangkung muncul tepat setelah pintu terbuka.

"Tahan di situ, anak manis," Paulino berlutut. "Aku punya sesuatu untukmu."

Genggaman tangan kanan Paulino yang masih basah membuka. Seekor kupu-kupu langsung lepas landas dari telapak tangan Paulino. Insting kekanak-kanakan Krovenoe langsung menyambar adrenalinnya, memaksanya untuk mengejar kupu-kupu yang sudah terbang dengan ketinggian setengah dinding rumah itu. Paulino tersenyum melihat tingkah anak anjingnya.

Paulino bangkit dan berjalan ke arah sebuah meja. Blech yang mengintip dari bantalan tidurnya sedikit merasa lega ketika melihat Tuannya menaruh sekantong kresek penuh dengan makanan untuk beberapa hari ke depan di meja tersebut—membuktikan bahwa tak ada hal buruk yang terjadi padanya, sebab ia tetap kosisten pada jadwal hariannya.

Paulino tertegun sebelum mengengok ke arah Krovenoe, yang tengah termenung menatap kupu-kupu yang telah lepas dari jangakauannya. Paulino tersenyum seraya memanggil Krovenoe dengan lembut.

Mendengar suara tuannya Krovenoe langsung berbalik dan berlari riang ke arah Tuannya. Ia langsung melompat ke arah dekapan Paulino, dan pria jangkung itu menangkapnya dengan lembut.

Paulino berjalan ke arah sofa usang yang sudah tak nyaman lagi untuk diduduki, namun sofa bagi seorang imigran adalah barang mewah. Pria itu adalah pria kesepian, namun tidak jika bersama dengan anak anjingnya. Krovenoe, anak anjing termuda merupakan kesayangannya, dan setiap ia pulang usai menjalankan misinya sendiri, ia selalu mencurahkan perasaannya dan pengalamannya selama sehari ia berpergian. Hal ini dapat dimanfaatkan Krovenoe untuk menggali informasi selagi salah satu dari para anak anjing itu tak dapat merauk informasi yang cukup saat mereka mengintai.

"Hari yang melelahkan, bukan?" ujar Paulino basa-basi.

Krovenoe menggonggong setuju, sebab ia merasa demikian.

Anak anjing itu mengibas ekornya ketika tangan lembut Paulino mengelus kepalanya. Pria jangkung itu tertawa kecil ketika Krovenoe merasa nyaman dalam pangkuannya.

"Kau tahu, Krove, walaupun hari ini sangat melelahkan, namun tak ada yang bisa menggantikan hari ini," mata Paulino berkilat ketika mengatakan hal itu. "Tak ada yang bisa menggantinya, Krove ... tak ada."

Krovenoe menatap dalam wajah Paulino dari sebuah cermin di depannya. Cermin itu, selalu memantulkan pancaran wajah ceria Tuannya. Namun sekarang ia melihat sesuatu yang bertentangan. Aliran air mata mengalir membasahi pipi pria jangkung itu, samar isak tangisnya terdengar di setiap tarikan nafasnya.

"Aku berhasil, Krove. Aku berhasil..." ujarnya sembari menguapkan rasa harunya. Suaranya bergetar bukan main ketika ia berkata. "Kalian akan aman mulai besok, kujamin itu," lanjutnya lirih.

Krovenoe tak tahu harus gembira atau sedih. Ia gembira, sebab Tuannya telah berhasil melaksanakan impiannya. Ia sedih, sebab bisa saja mereka tak akan bertemu lagi keesokan harinya. Dalam hatinya ia berseru, mengangis sejadi-jadinya dalam dekapan Tuannya. Namun hukum alam tak akan pernah membiarkannya dua makhuk berbeda menyatukan perasaan. Ada batasan menjadi seekor anjing yang harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk anak anjing sepertinya.

***

Lama ketiga anak anjing itu menunggu sang kakak sulung menimbang-nimbang. Malam itu malam yang hening, namun tak dapat mengalahkan keheningan keempat anak anjing itu.

"Kita harus menghubungi Ibu Peri," ujar Blech memecah keheningan.

Ketiga adiknya terkejut. Mereka tak menyangka Blech akan melontarkan nama itu. Ibu peri—meminta pertolongannya sama saja menyiapkan tumpukan kayu untuk membuat peti mati sendiri. Pilihan terakhir untuk mencari jalan keluar.

Blech berjalan ke tengah ruangan untuk memulai ritual memanggil ibu peri. Tak ada yang bisa menghalanginya, bahkan Zech yang sama sekali tak menyukai keputusan kakaknya ini. Ia memang berpikir pesimis terhadap orang asing yang bertemu dengan Tuannya siang tadi, namun bukan ini yang ia harapkan.

Sebuah kilatan cahaya menyelebat tepat setelah Blech menyelesaikan mantra ritualnya. Cahaya putih yang begitu anggun, tersirat mara bahaya di dalamnya. Dan di sanalah muncul Ibu Peri, tubuhnya kecil dengan sayap mungil mengepak-kepak agar tubuhnya tetap melayang di udara. Ia mengenakan gaun biru berkerlapan. Senyumnya yang ramah membelai orang disekitarnya dengan bulu lembut, namun keempat anak anjing itu tahu bagaimana sifat ibu peri yang asli. Tak bisa dipercaya.

“Mengapa kalian memanggilku?” tanya Ibu Peri.

“Kami membutuhkan bantuanmu, Ibu Peri,” ujar Blech.

“Hmmm,” Ibu peri menopang dagunya, berpura-pura berpikir. “Sudah lama tak ada yang meminta bantuanku. Yang terakhir adalah seorang manusia, dan ia bukanlah seseorang yang dapat memegang janjinya. Oh ya, bantuan apa yang kalian minta, anak-anak manis?”

Blech memandangi ketiga adiknya secara bergantian sebelum membuka mulutnya kembali. “Kami tak akan membuat permintaan sebelum kau memberitahu kami peraturannya.”

“Baiklah. Ada dua hal yang harus dilakukan sebelum Ibu Peri mengabulkan beberapa permintaan. Yang pertama, jika yang memintai pertolongannya lebih dari satu orang, maka aku harus memilih salah seorang untuk menjadi yang terpilih. Permohonan sang terpilihlah yang nantinya akan kukabulkan,” ujarnya. Ia terdiam ketika matanya yang telah menua silih berganti menatap empat anak anjing di hadapannya. “Sejak kalian semua bukan orang, err, aku tak punya waktu untuk itu! Kau, anak anjing berbulu hitam yang manis,” jarinya menunjuk ke arah Krovenoe. “Kemarilah!” serunya ramah.

“Aku?” tanya Krovenoe ragu.

“Apa kau melihat anjing lain yang berbulu hitam?”

Krovenoe menggeleng.

“Kemarilah, aku tak akan menggigitmu, nak. Malah seharusnya aku yang khawatir dengan gigitanmu.”

Krovenoe melangkah maju perlahan. Wajahnya yang hitam nampak pucat ketika tongkat kecil Ibu Peri mengayun di atas kepalanya.

“Kau, anak anjing berbulu hitam! Dengan berkatku kau akan kujadikan sang terpilih!” seru Ibu Peri sembari menarikan tongkat sihirnya. “Katakanlah, maka aku akan mewujudkannya!” bunga api langsung menyerebak keluar dari bulu-bulu Krovenoe.

“Baiklah, dan kini peraturan yang kedua, ikatan peri: kau akan mengucapkan sebuah permintaan intimu. Jangan beritahu aku, simpan saja di benakmu. Jika kau meminta secara langsung permintaan itu, maka aku akan meminta sebuah nyawa sebagai gantinya,” jelas Ibu Peri.

Wajah Krovenoe berubah menjadi pucat menjadi sangat, sangat pucat. Tak ia sangka peraturan peri sekejam ini.

“Tetapi, kabar baiknya, jika permintaan itu tercapai secara tidak langsung kau akan terlepas dari kontrak peri. Diluar itu, kau bebas untuk meminta apa saja,” tambahnya.

“Jika kami bebas meminta apapun di luar permintaan inti itu, untuk apa kami mengakhiri kontrak?” protes Blech.

“Pertama, tidak ada ‘kami’! Kau tak berhak untuk meminta sesuatu dariku, wahai anak anjing. Dan kedua, biar kuperjelas masalah ini. Sejauh karirku sebagai Ibu Peri, tak ada satupun yang betah berlama-lama terikat kontrak denganku,” senyum serigala Ibu Peri mengembang, membuat bulu kuduk Krovenoe bergetar di belakang lehernya.

Krovenoe melirik Blech. Jelas dari tatapan balasan Blech, hidup Paulino sangat bergantung pada Krovenoe.

Ia merekam di dalam benaknya tujuan hidup Paulino: menyatukan pihak barat dan timur Wardten City. Dengan menyatunya kedua pihak tersebut, bisa dipastikan Wardten City akan terhindar dari peperangan yang tidak diragukan lagi akan pecah mengingat hubungan kedua belah pihak ini makin menajam dari hari ke hari. Itu akan dijadikan permintaan intinya, dan dengan demikian, jika kedamaian sudah terwujud, ia akan lepas dari kontrak peri. Tentu saja, ia juga ingin Tuannya selamat. Namun ia sudah memperhitungkannya, ia akan menyelesaikan kedua masalah secara bersama-sama.

“Ibu Peri,” panggil Krovenoe, walau Ibu Peri sudah melototinya sejak tadi.

“Ya, sayangku?”

“Bisakah kau memberitahuku kemana besok Tuanku akan pergi?”

“Hmm, coba kulihat,” Ibu Peri berkosentrasi penuh ketika ia menggunakan kekuatan magisnya untuk meramal di dalam benaknya. “Ia akan bertemu dengan seorang pria berjaket hijau di sebuah rumah sakit beberapa kilometer dari sini.”

Krovenoe melanjutkan ketika mendapati sebuah anggukan kecil dari Blech. “Bisakah kau menggagalkan pertemuan mereka besok?”

“Tentu saja, itu mudah.” Ibu Peri mengayunkan tongkatnya di udara, dua detik kemudian bunga api melompat dari mulutnya.

***

Siang itu sebuah kebakaran besar melanda sebuah rumah sakit. Ratusan hingga ribuan orang berkumpul menyaksikan gedung itu hangus dilalap kobaran api. Tak sedikit yang bertanya, apa penyabab kebakaran itu. Sabotase? Mungkin saja. Sebab pihak pengurus rumah sakit telah lama menyatakan mereka berada di pihak netral, dan tentu saja pihak barat dan timur berusaha mati-matian untuk menundukkan mereka dan menggandeng mereka ke pihak masing-masing. Memiliki sebuah rumah sakit satu-satunya di kota Wardten City adalah sebuah aset yang tak ternilai harganya.

Dan siang itu pula, Paulino pulang lebih awal. Ia tak henti-hentinya mengeluh, mengapa rumah sakit itu hangus terbakar?

Ia sudah bertemu dengan orang asing itu sekali. Namun entah ia bertemu lagi, itulah yang ia pikirkan. Sudah jelas sebelum mereka berpisah, orang asing itu memperingati mereka agar tak bertemu selain di rumah sakit dan pada siang itu apapun yang terjadi. Dan ‘apapun yang terjadi’ itu tentu saja termasuk lokasi pertemuan yang terbakar hangus, hangus sehangus semangat Paulino.

Krovenoe menyesal telah meminta membatalkan pertemuan Paulino. Namun Blech tak bosan-bosannya mengingatkan kepada Krovenoe, bahwa keputusan Krovenoe sangat tepat.

***

Suasana makin menegang. Beberapa hari pasca kebakaran gedung tersebut membuat para pendukung pihak barat dan timur tak henti-hentinya menuding tuduhan palsu satu sama lain. Sabotase, klaim mereka. Para penduduk telah mengungsikan diri mereka dan sanak keluarga ke tempat yang aman, takut-takut perang meletus secara tiba-tiba. Para tentara bayaran serta penduduk yang rela berjuang demi pihak yang mereka dukung berpatroli di daerah yang telah dikuasai pihak mereka.

Hari itu Paulino beserta keempat anak anjingnya ikut mengungsi di salah satu situs pengungsian. Makin hari Krovenoe makin ketakutan. Semua kekacauan ini, merupakan beban yang harus ia tanggung sendiri.

Sosok mungil Ibu Peri muncul di samping Krovenoe yang tengah menyendiri. “Ada apa, sayang? Kau nampak kacau sekali.”

Krovenoe tersentak ketika mendengar suara Ibu Peri. “Ibu Peri! Permintaanku telah membawa bencana yang lebih besar, kau menyelamatkan Tuanku namun kau juga menghancurkan hatinya dengan memunculkan semua kekacauan ini!”

“Aku tak ingat kau meminta untuk mencegah kekacauan,” gumam Ibu Peri. “Kau hanya bilang, agar membatalkan pertemuan Tuanmu itu.”

Wajah Krovenoe berubah pucat. “Lalu apa yang harus kulakukan?”

“Apa kau tak meminta agar mencegah perang?” saran Ibu Peri.

Krovenoe menimbang sesaat. “Apa ini jebakan?” curiganya.

Ibu Peri memberikan senyum terbaiknya. “Apa aku pernah membuat jebakan dengan umpan perdamaian?”

“Aku tak tahu. Yang kutahu dari ketiga kakakku, jangan pernah mempercayaimu apapun yang terjadi.”

Ibu Peri langsung tertawa terbahak-bahak. “Tentu saja mereka mengatakan hal itu! Sebab mereka iri padamu, anak emas dari Tuanmu tersayang serta anak yang telah kupilih. Jangan membuat rasa iri mereka menghalangimu, nak. Lepaskan saja hasratmu untuk melindungi Tuanmu.”

Krovenoe bimbang. Sekajap jati dirinya terbelah menjadi dua, yang satu menyerukan agar ia terus mengingat perkataan kakak-kakaknya, dan yang satu lagi membetulkan perkataan Ibu Peri. Lama ia tersesat dalam dua dilema itu, dan akhirnya sisi gelapnya telah merasuki tubuhnya.

“Jika korban nyawa yang kau khawatirkan, itu bisa menunggu. Bukannya perdamaian yang terpenting untukmu dan juga Tuanmu?” tawar Ibu Peri.

“Kalau begitu lakukan! Bawa perdamaian ke tanah ini!” pinta Krovenoe mantap. Ia telah menetapkan untuk mengorbakan nyawanya sendiri demi permintaan itu.

Ibu Peri melekukkan senyum ularnya. Sihirnya menyerebak dari ujung tongkat yang menari-nari di udara.

***

Pria asing itu mengunjungi Paulino di pengungsian. Mengenakan jaket musim dingin berwarna hijau yang tebalnya bukan main.

“Kau!” seru Paulino. “Mengapa kau melanggar ucapanmu sendiri?”

“Aku tak ada waktu untuk menjelaskannya, ayo ikut aku dan bawa barang-barang yang bisa kau berhargamu!”

***

Orang asing itu menuntun Paulino ke sebuah jalan yang sepi. Ada sebuah kardus berisi empat anak anjing mengambang di dalam dekapan Paulino.

Orang asing itu berhenti. Jantung Krovenoe berdebar ketika ia mengintip dari balik lubang di kardus. Sedang ketiga kakaknya tak menyadari gejolak ini sebab mereka tak mengenali orang asing itu.

“Kau betul-betul menginginkan perdamaian, bukan?” tanya orang asing itu.

“Tentu saja,” balas Paulino. “Aku memperjuangkannya seumur hidupku.”

“Lalu kau siap dengan resiko yang telah kukatakan itu?”

Paulino mengangguk mantap. “Aku telah memperhitungkannya, lalu apa yang kalian—para pihak timur—tawarkan kepada pihak barat sebagai jaminan perdamian?”

“Tidak mudah. Pihak barat memang sukar untuk ditebak. Mereka menginginkan dua syarat. Yang pertama, melenyapkan pihak netral yang telah lama membangkang kepada mereka.”

“Itu sebabnya rumah sakit itu terbakar, itu karena keinginan mereka.”

Orang asing itu memasukkan tangannya yang nampak kedinginan ke dalam saku jaket musim dinginnya. “Ya, kami telah memperkirakan akan ada sebuah keributan kecil, namun hal itu akan lenyap ketika syarat kedua mereka kami penuhi. Dan ketika hal itu terjadi, akan terbentuk sebuah republik baru. Wardten Republic, takkan ada lagi perpecahan seperti dulu. Sama persis dengan yang kau impikan, Paulino.”

Paulino tersenyum bangga. “Dan apakah kau sudah menyelesaikan syarat yang kedua itu?”

Orang asing itu langsung menarik sebuah pistol dari dalam saku jaketnya, dan pada saat yang bersamaan Paulino terkejut bukan main. Kardus yang tadi ia peluk langsung ia buang sebelum beberapa peluru kecil memberondong dada kirinya.

Empat anak anjing langsung berhamburan dari dalam kardus. Orang asing itu langsung menembaki anjing-anjing yang berusaha mengelak dari pelurunya. Krovenoe berhasil mendapatkan posisi paling depan, namun larinya terhenti ketika melihat ketiga kakaknya tengah terbaring kaku. Ia memandangi orang asing itu, tengah sibuk mengisi ulang pistolnya.

“Lari, Krove! Lari!” teriak Zech dengan menggunakan sisa tenaga yang telah berada di ujung napasnya.

Krovenoe tak banyak berpikir. Ketiga kakaknya sudah tak tertolong lagi, dan ia hampir kehabisan waktu sebelum orang asing itu menggila dengan pistolnya. Dengan cekatan ia masuk ke dalam selokan, menghilang di dalam kegelapan.

***

Krovenoe masih dalam selokan itu. Hatinya terasa miris mendapati ia tengah sendirian sekarang. Tak jauh dari tempatnya meluapkan kesedihan, tiga mayat kakaknya dan seseorang yang selama ini ia anggap sebagai ayah terbaring kaku. Ia masih bisa mendengar dengan jelas orang asing itu bergumam sendiri, menganggap mayat Paulino masih bisa mendengar gumamannya.

“Naif sekali kau, Paulino. Tidakkah kau tahu? Jika Wardten Republic tercipta dan kau masih berdiri gagah di sini, kekuatan kami akan melemah karena kami tahu cepat atau lambat suara rakyat akan beralih kepadamu, sang penyelamat. Karena itu aku tak bisa membiarkanmu hidup lebih lama lagi,” ia mendesah panjang. “Andai saja kau terus menutup mulutmu dan menunggu tepat seperti yang kukatakan dahulu, aku tak akan merasa bersalah seperti ini. Maafkan aku, teman lama.”

Ia langsung menghilang ketika derapan kakinya lenyap menjauh.

Krovenoe langsung keluar dari tempat persembunyiannya, meratapi kematian empat makhluk yang paling ia cintai. Perasaan sedih merayapi seluruh tubuhnya, semua ini terasa sangat tak adil.

“Kini kontrakmu telah habis, anjing manis,” sahut suara dari belakangnya.

Ia menoleh, dan perasaannya langsung berubah murka ketika mendapati senyum serigala Ibu Peri yang telah menemukan kemenangan batinnya sendiri. “Kau, kau curang! Dasar nenek jahanam!”

“Tidak, aku tidak curang,” sangkal Ibu Peri. “Ini sesuai perjanjian, kau mengucapkan permintaanmu dan aku meminta korban nyawa.”

Krovenoe menyeringai gusar. “Jadi, bukan nyawaku yang kau inginkan, bukan?”

Ibu Peri tertawa terbahak-bahak. “Jangan konyol! Untuk apa aku mengoleksi nyawa anak anjing, heh? Sejak pertama aku memang mengincar nyawa Tuanmu itu. Ia memiliki hati yang mulia, sungguh nyawa yang amat langka dan berharga untuk dimiliki.”

Gonggongan Krovenoe menyeruak menghabisi seluruh kesunyian yang mengendap-endap di medium udara. Namun Ibu Peri hanya tertawa menanggapinya.

“Selamat tinggal, anjing bodoh! Senang berbisnis denganmu, ha ha ha!” bunga api langsung meledak sebelum sosok Ibu Peri lenyap dari hadapan Krovenoe.

Dan sekali lagi, Krovenoe sendirian. Bersama penyesalan dan rasa kesedihannya yang mendalam, ia terus berjalan. Meninggalkan harapan yang telah tercapai jauh di belakangnya. Dan ia telah berjanji kepada dirinya sendiri, melarang dirinya untuk menengok sepercik harapan itu sekali lagi.

No comments:

Post a Comment