Tiga Nelayan

MALAM itu adalah salah satu dari segelintir malam yang membuat tulang punggung Bayu bergemericing ngilu. Sama seperti beberapa malam pekat yang telah berlalu, dimana ia akan berhadapan dengan mara bahaya yang mungkin saja akan merenggut nyawanya. Semata-mata hanya untuk memenuhi hasrat berpetualangnya.
Bukan petualangan namanya jika menantang maut hanya untuk merasakan sensasi buta. Dibutuhkan sebuah alasan kuat dan tujuan jelas untuk memulai petualangan. Begitulah prinsip Bayu. Kali ini ia mencari gambar paus bertanduk yang konon sering nampak saat cuaca terburuk. Koran ataupun stasiun TV akan membayar mahal untuk gambar itu. Maka di sinilah ia. Menginap di sebuah rumah sederhana milik seorang pelaut yang akan membantunya mendapatkan gambar paus bertanduk yang tengah ia incar.
Ia sudah terbiasa dengan makanan pedesaan. Sama sekali tak terkejut jika ada rasa yang sama sekali tak cocok dengan lidahnya. Nelayan muda itu telah menjamu tamunya dengan baik, sebab nampak dari wajahnya yang muda bahwa ia telah berusaha semampunya untuk tak mengecewakan tamunya.
Sesosok tubuh tua langsung menerobos masuk ke dalam ruang tamu. Mengejutkan tamunya yang tengah melahap sepiring nasi dengan lauk sederhana.
“Bagaimana, Pak?” tanya nelayan muda yang tengah mengambil serauk nasi itu.
Pria tua itu menyeringai pesimis. “Tidak bisa malam ini,” ujarnya pasrah. “Anginnya tak cukup kuat, dan saya khawatir jika paus bertanduk itu tak muncul.” Ia menghadap Bayu. “Pak Bayu, jika anda ingin mengambil gambarnya, anda harus menunggu hingga waktu yang tepat. Ketika angin terkuat berhembus. Saya belum bisa memastikan kapan, namun yang pasti dalam waktu dekat. Oh, ya. Perkenalkan, nama saya Gunadi. Ini anak saya, Tata,” ia mengarahkan tangannya kepada anaknya yang menyiapkan nasi untuknya.
Bayu tersenyum. “Saya sudah mengenal anda dan anak anda. Saya dan Gunarta sempat berbincang tadi.”
“Surat yang anda terima, Tatalah yang menulisnya. Ia adalah segelintir pemuda yang bisa menulis sekaligus membaca di desa ini.”
“Setidaknya ilmu dasar cukup baik untuk seorang nelayan,” ucap Bayu dengan hati-hati, takut menyinggung sang pemilik rumah. Namun nampaknya kalimat yang terucap dari bibirnya disambut dengan riang oleh Gunadi dan anaknya.
Setelah itu percakapan mengalir dengan hangat. Bagaikan aliran air yang tumpah pada bidang datar. Tak dapat dipastikan arah menyebarnya. Topik pembicaraan mereka sungguh tak terduga munculnya dan hampir semuanya menarik untuk diikuti.


Sunyi senyap tak segan berkunjung di dalam tipisnya embun pagi yang sejuknya membuat kulit mengerut. Menegaskan angin yang telah terlarut. Dimana ombak pantai menderu bagaikan ribuan gendang yang hendak berperang. Pagi itu pula, Bayu merelakan dirinya menyikat lambung sebuah perahu tradisional yang telah lama berkerak.
“Saya harus kembali ke rumah. Anda tunggu saja di sini,” ujar Gunarta. Suaranya seketika menghentikan gerakan Bayu menggosok lambung perahu.
“Baiklah,” ujar Bayu.
Nelayan muda itu kembali ke rumahnya. Sedang Bayu kembali menggosok lambung perahu milik Gunadi, ayah Gunarta.
Setelah membersihkan lambung kapal cukup lama, Bayu mendapati wajah Gunarta yang baru kembali. Ia menaruh sikat yang ia gunakan untuk membersihkan lambung perahu tadi, dan bergerak mendekati Gunarta yang tengah membawa gulungan kain tebal dan seutas tali tambang.
“Untuk apa benda-benda itu?” tanya Bayu, menyelaraskan langkahnya bersama Gunarta mendekati sebuah perahu tradisional milik ayahnya.
“Saya akan mengganti layarnya,” ujar Gunarta. Ia menyimpan tali tambang dan kainnya di geladak perahu yang sempit itu. Kemudian ia melepaskan ikatan layar yang mengunci kuat tiang perahu. “Lihat. Layarnya sudah rusak sedikit saat pelayaran terakhir. Tapi akan berpengaruh besar saat berhadapan dengan angin kencang. Bapak menyuruh saya menggantinya tadi malam.”
Keadaan hening. Yang terdengar hanyalah desisan angin yang menampar ombak pagi. Mereka tak mengucapkan sepatah katapun. Bahkan sampai Gunarta melepaskan layar lama perahunya, memotong seutas tali menjadi beberapa bagian dan menjadi tali baru yang akan melekatkan layar ke tiang perahu. Bayu tak mengerti mengapa Gunarta mengganti tali lama yang menurutnya masih layak pakai. Namun ia merasa tak perlu meributkan masalah sepele seperti itu.
“Kau yakin layar ini cukup aman nantinya?” tanya Bayu. Tanpa rasa khawatir, hanya penasaran saja.
Gunarta mulai tertawa terbahak-bahak. “Tentu saja tidak. Tidak ada yang aman jika kita melaut untuk mencari paus bertanduk. Kami hanya bisa meminimalisir risikonya saja dengan memeriksa kondisi perahu sebelum melaut.”
“Risiko karam, maksudmu?”
“Anda seharusnya memperhitungkannya sebelum menjawab surat kami.”
“Bah! Aku tak takut mati sama sekali. Sudah mendarah daging selama puluhan tahun belakangan ini, semenjak aku memulai pekerjaan ini. Sepertinya syaraf takutku sudah putus sejak saat itu.”
“Maka anda tak perlu memusingkannya.”
Keadaan hening ketika Gunarta memanjat tiang perahu untuk mengikat ikatan terakhir dan tertinggi. Setelah itu, usai sudah tugasnya.
“Sepertinya kalian bukan nelayan pemandu biasa,” ujar Bayu.
“Mengapa?”
“Ketika kau pergi, ada seorang pemuda yang mendatangiku dan mengatakan bahwa kalian terobsesi dengan paus itu.”
“Saya hanya menemani Bapak untuk mencari paus itu.”
“Jadi ayahmu saja yang terobsesi dengan hewan itu. Mengapa?”
Bayu sempat melihat air muka Gunarta yang seketika muram sebelum ia merundukkan kepalanya. “Urusan pribadi,” jawabnya.      

Angin malam bertiup laksana pemabuk yang telah kehilangan akalnya. Tiga pria itu sudah bersiap mendorong sebuah perahu nelayan untuk kembali melaut. Di antara ketiga pria itu, Bayulah yang belum memiliki pengalaman berlayar sebelumnya. Namun nalurinya yang keras akan cepat beradaptasi dengan pengalaman barunya. Sama seperti saat ia menjadi pemburu saat menjelajah rimba Kalimantan. Ataupun menjadi pendaki saat harus mengarungi tingginya Gunung Bromo.
Maka dengan kekuatan tiga pria yang mendorong sayapnya, perahu itu mencapai garis pantai yang telah naik karena air pasang. Menerobos pagar ombak yang membentang dengan tekad tak kurang dari kerasnya baja. Dengan cepat mereka naik ke geladak perahu ketika perahu telah mengambang di atas liukan ombak yang ganasnya bukan main.
Layar telah mengembang. Perahupun meluncur dengan kencang. Tepat di atas mereka, angkasa malam telah terselubung awan hitam pekat yang senantiasa berhamburan kilat dan gemuruh. Terasa menghimpit dan berbahaya.
Sempat beberapa kali perahu kecil itu hampir terbalik didesak dinding gelombang. Namun Gunadi yang dengan tangan tua lihainya dengan cepat mengantisipasinya, bermain-main dengan layarnya yang berdiri gagah melawan udara.
Suara angin darat pun terngiang keras di gendang telinga mereka. Itulah yang menyebabkan perahu mereka terombang-ambing sebab gelombang laut tak sudi berbagi ketenangan dengan para penyusup yang mulai memasuki wilayah mereka lebih jauh lagi.
Setelah beberapa jam berlayar, mereka menurunkan layar. Gunadi dan Gunarta mengambil tombak besi mereka, kemudian menunggu di atas perahu yang terombang-ambing di tengah gelombang yang tak pernah berhenti bergeming.
Bayu menyiapkan kamera tahan airnya. Kemudian mengawasi ganasnya laut yang tak diketahui pasti ada apa saja di dalam amukannya.
Setelah cukup lama matanya tak terlepas dari lautan kosong yang ujungnya tak nampak itu, Bayu tergoda untuk merekam wajah kedua pejuang lain dalam benaknya. Gunadi memasang ekspresi yang kurang lebih sama dengannya sejak tadi, tak henti-hentinya melototi hamparan permukaan laut yang bergoyang dengan matanya yang tajam.
Namun ia terkejut ketika mendapati wajah Gunarta yang terpaling pada hal yang lain. Kepada ayahnya sendiri. Wajar jika seorang anak menjaganya, namun air muka Gunarta tajam laksana katana samurai yang siap membelah tubuh musuhnya. Konyol rasanya ketika Bayu menyimpulkan bahwa Gunarta sama sekali tak peduli dengan paus bertanduk ketika mendapati mata pemuda itu tak menengok laut sama sekali. Namun ia tak bisa melemparkan kesimpulan itu dari benaknya. Sudah tertanam kuat di sana, bagaikan sebuah ide kuat yang akan menjadi filosofis hidupnya.
“Aku melihatnya!” pekik Gunadi. Saking tingginya suara kakek itu mampu menyaingi gemuruh guntur di atasnya, yang tak lama lagi akan menjadi badai.
Pria tua itu bersiap dengan tombaknya, namun Gunarta masih tak bergeming. Menatap lekat ayahnya bagaikan elang yang telah menemukan mangsanya. Tak akan berpaling darinya.
“Dimana?” tanya Bayu yang sigap menyalakan kameranya. Kemudian ia merekam titik dimana Gunadi menunjuk. Selama beberapa detik hanya gelombang laut dan latar saja yang terekam. Tak lebih.
“Saya tak melihat apa-apa di sana sejak tadi. Bapak pasti salah lihat lagi,” sambar Gunarta, suaranya yang cukup tinggi masih kalah dengan suara ribut laut.
“Kau bahkan tak mengawasi laut!” seru Bayu, berusaha menyaingi suara Gunarta.
“Mata saya sama sekali tak terpaling mencari paus itu!” sangkal Gunarta. Namun ia tak dapat membohongi Bayu yang telah memperhatikannya sejak tadi.
“Jangan berbohong, kau nak!” geram Bayu.
“Saya tak berbohong!”
Hampir saja Bayu melayangkan bogemnya untuk memberi pemuda itu pelajaran agar tak bermain-main dengan hal seperti ini. Namun suara ceburan menghentikan niatnya. Mereka menoleh, mendapati Gunadi telah berada di dalam amukan gelombang laut, bersama tombak besi dan wajah gusarnya.
“Pak Gunadi!” seru Bayu panik. Tak seharusnya melompat dari perahu di kala cuaca gusar-gusarnya seperti ini. Itu adalah segelintir dari cara bunuh diri termudah yang diketahui oleh Bayu.
Suara ceburan kini terdengar untuk kedua kalinya. Bayu menajamkan matanya, mendapati Gunarta telah menyusul ayahnya. Pemuda itu bertarung melawan ganasnya gelombang laut untuk menarik ayahnya kembali ke perahu.
Melihat ganasnya ombak yang mengerikan dan juga jarak kedua pria yang tengah bergulat dengan laut itu cukup jauh, tak tertutup kemungkinan mereka berdua akan tewas di tempat. Namun Gunarta dengan semangat mudanya mampu mencapai ayahnya, menariknya kembali ke perahu dengan paksa.
“Jangan melompat seperti itu lagi, pak! Berbahaya!” teriak Bayu di sela-sela gemuruh guntur dan gelombang laut. Ia menarik tangan Gunadi dan Gunarta. Ayah dan anak itu kembali ke perahu dengan nafas yang terengah-engah, lega ketika dapat menghirup udara segar.
“Aku hampir mendapatkannya. Hampir membunuhnya ... ” lirih Gunadi yang telah berlinang air matanya.
“Harus berapa kali saya katakan, pak? Tak ada apa-apa di sana!” seru Gunarta.
Bayu telah habis kesabarannya menghadapi kebohongan Gunarta.
“Kau sama sekali tak mengawasi laut! Aku memperhatikanmu sejak tadi!” gusarnya seraya meremas kerah baju Gunarta yang basah kuyup dengan kepalan tangannya.
Di tengah-tengah suasana yang memanas, sebuah gelombang tinggi menghampiri perahu itu. Untuk meredam suasana, mungkin. Namun yang pasti gelombang tinggi itu menyapu perahu milik Gunadi dan hampir saja membuatnya karam. Beruntung ketiga pria itu berpegangan erat dengan perahu mereka.
Cepat Bayu menyadari, kameranya tak lagi berada di tangannya. Ia panik, begitu juga dengan Gunarta. Mereka memeriksa geladak kapal, tak ditemukan benda elektronik itu. Namun kosentrasi mereka untuk mencari kamera pecah ketika mendengar bunyi ceburan berikutnya.
Tanpa mencari arah Gunarta langsung terjun ke laut. Ayahnya telah lepas dari pengawasannya untuk kedua kalinya, dan belum tentu ia bisa menyelamatkannya kali ini.
Ia menengok ke sana kemari untuk mencari ayahnya di tengah amukan laut, namun matanya tak menemukan sesosok tubuhpun. Matanya mulai berkunang ketika laut seakan-akan memakannya. Tubuhnya mulai lemas ketika tak kuat lagi melawan gelombang laut yang begitu dahsyat. Sebuah tenaga magis serasa menariknya ke dasar laut, namun cepat ia menyadari bahwa itu hanyalah ketidak mampuannya untuk melawan alam. Ia pasrah ketika tubuhnya perlahan menjauh dari permukaan. Tenggelam menuju ke dasar laut.
Di tengah perut laut, ia merasakan pergelangan tangannya digenggam kuat oleh seseorang. Siapa itu? Siapa pria itu? Matanya buram. Bapak? Bukan! Bayu. Pria paruh baya itu menarik Gunarta ke permukaan di saat ia tak kuat lagi untuk menggerakan tangan dan kakinya untuk melawan arus laut.
Dua kepala muncul dari dalam air, mencoba untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Gunarta selamat, namun tidak ayahnya. Ingin ia bertanya kepada Bayu apakah ayahnya baik-baik saja, namun air laut yang segera menerobos masuk ketika ia membuka mulutnya. Membuatnya tak bisa mengucap sepatah katapun. Bayupun mentuntunnya untuk naik kembali perahu.
Setelah di atas perahu Gunarta dapat menghirup nafas kembali dan menormalkan nafasnya yang terengah-engah. Namun kali ini ayahnya tak ada di geladak, membuatnya panik bukan main.
“Aku akan mencari ayahmu!” seru Bayu, kemudian melompat kembali ke laut.
Gunarta memandangi Bayu yang berenang menjauh. Kemudian menunggu, menunggu dalam lirih. Air matanya menetes ketika rasa cemasnya sudah tak terbendung lagi, berharap ayahnya selamat di tangan orang asing.
Tak lama, dua sosok yang tengah mendekat nampak di kejauhan. Sejenak wajah Gunarta berseri, namun berubah sedih kembali ketika mendapati ayahnya tak sadarkan diri.
“Ia selamat?” cemas Gunarta dalam isakan tangisnya.
“Belum,” jawab Bayu seraya berusaha menormalkan nafasnya yang terengah-engah.
Bayu kemudian mengambil nafas panjang, dan memberikannya sebagai nafas buatan kepada Gunadi dengan tubuh lemas tergeletak. Berkali-kali dan berirama. Hingga pria tua itu memuntahkan air dari paru-parunya dan mulai mengembang kempiskan dadanya.
“Ia butuh istirahat,” Bayu mengambil nafas lega. “Kita harus segera pulang. Masa bodoh dengan paus bertanduk itu. Putar arah perahunya.”
Gunarta menggeleng dalam tangisannya. Sembari meratapi tubuh pria tua yang tak sadar sejak tadi.
“Biarkan dia! Ia akan selamat jika kita cepat kembali!” seru Bayu.
“Tak bisa. Kita harus menunggu angin laut untuk kembali,” sesal Gunarta.
Bayu mengdengus kesal. Kemudian ia menatap mata Gunarta yang berlinang. Seketika itu pula memuncak kekesalannya pada pemuda itu.
“Mengapa kau berbohong? Kau hampir saja membunuh ayahmu!” gusar Bayu.
Gunarta masih melanjutkan tangisannya. “Semuanya baik-baik saja sebelum anda datang. Bapak tidak pernah lepas dari pengawasan saya. Saya selalu mencegahnya sebelum melompat.”
“Jangan mengelak!” gusar Bayu dengan nada mengancam. “Katakan saja mengapa kau berbohong.”
Gunarta menggeleng dalam isak tangisnya.
“Kumohon, Ta. Aku tak ingin melihat bahaya mengancam orang lain lagi.”
Gunarta menatap kilatan mata Bayu. Perlahan rasa egonya surut dan mulai mempercayai pria itu. “Tiga tahun lalu,” ujar Gunarta masih dengan nada terpaksa. “Kedua kakak saya masih melaut. Mereka adalah nelayan terbaik di desa. Bapak sangat menyayangi mereka. Melebihi dirinya sendiri. Ia bangga kepada mereka, dan menaruh harap kepada kedua kakak saya. Suatu hari, ketika Bapak sakit, saya menggantikan bapak melaut bersama kedua kakak saya. Namun yang mereka lakukan hanyalah bertengkar sepanjang perjalanan, memperebutkan seorang gadis desa yang telah membuat hati mereka bertumpu. Sampai saat puncaknya, mereka berubah kalap. Gustama, kakak kedua saya memukul kakak sulung hingga terjerembab ke dalam laut. Ketika kakak sulung saya hendak naik ke perahu kembali, Gustama melempar tombak ke arahnya.”
“Ia membunuh kakak sulungmu?”
Gunarta mengangguk. “Saat kembalinya ke pantai, Gustama menyerahkan dirinya ke polisi dan mengakui perbuatannya. Ia menyesal telah melakukan perbuatannya. Namun tak berani menghadap Bapak lagi. Sekalipun tak berani.
Bapak yang terbaring sakit tak mengetahui apa-apa, terkejut ketika mendapati saya pulang sendiri. Saya tak ingin membuat hati bapak terluka dan kehilangan harapannya pada kedua kakak saya, maka saya menggunakan mitos paus laut untuk menutup kebenaran darinya. Selama tiga tahun saya membohonginya, menjaganya dari kebenaran yang mungkin saja akan melukai dirinya. Tetapi kebohongan telah menghianati saya. Bapak dendam pada paus itu, dan bersumpah akan membunuh dengan tangannya sendiri. Hari demi hari kehidupan kami lalui dalam fantasi dan kebohongan.”
“Tahukah kau kebohonganmu itu dapat membunuh ayahmu kapan saja? Katakan saja padanya kejadian sebenarnya!”
Gunarta menggeleng tak mampu. “Saya tak berani. Saya tak berani melihatnya menghabiskan sisa hidupnya untuk menangisi kebodohan kakak saya.”
“Kalau begitu kau bisa mencegahnya untuk melaut kembali,” saran Bayu.
Gunarta menggeleng. “Seramah apapun saya mencegah, ia tetap akan menganggapnya sebagai penghinaan. Ia akan menganggap saya sebagai anak durhaka. Bukan hak anak untuk melarang orang tuanya melaut.”
“Jika begitu kau tak bisa melakukan apapun untuk mencegah ayahmu mencoba untuk membunuh dirinya sendiri,” desak Bayu.
Gunarta mengusap celemeknya. “Saya sudah melakukan hal ini selama tiga tahun, mengawasi Bapak sedekat dan selekat mungkin. Saya tahu betul dosa yang akan saya dapatkan dengan membohongi orang tua saya, namun hal itu adalah pilihan saya. Anda seharusnya tak perlu menghawatirkan bapak saya. Anda sama sekali tak memiliki kewajiban akan hal itu.”
Bayu tak bergeming. Merasakan bahwa Gunarta enggan menerima bantuannya lebih jauh lagi.
“Terima kasih telah menyelamatkan saya dan Bapak. Sekarang anda tahu bahwa sebenarnya tak ada satupun paus bertanduk. Terserah anda mau kembali ke kota dengan kabar apa saja. Namun yang pasti, saya akan tetap menjaga Bapak dari kebenarannya hingga ia wafat dengan harapan yang masih tersisa di benaknya.”
Setelah itu mereka tak mengucapkan sepatah katapun. Badai menjemput, mengguncang perahu kecil, hingga nampak sepercik jalan sinar mentari.
Tak lama kemudian angin berhembus menuju daratan. Gunadi sadar, namun air mukanya laksana besi karatan. Dalam duka yang kelam Gunarta memintanya untuk berbaring kembali, namun kakek itu memaksa Bayu untuk mengucap sepatah kata.
Ketika Gunadi bertanya apakah Bayu melihat hal yang sama dengannya. Pria paruh baya itu mengucapkan: tentu saja.
Dan ketika Gunadi bertanya apakah Bayu akan menggambarkan apa yang ia lihat kepada dunia, pria paruh baya itu mengucapkan: ada segilintir misteri yang lebih baik tak diungkapkan.


No comments:

Post a Comment